Faktus Timor-Leste

Tuesday, November 22, 2016

Allan Nairn: Bukan Australia Yang Menyelamatkan TL


East Timor President Taur Matan Ruak (C) introduced two journalist British Max Stahl (L) and US Allan Nairn (R) who witnessed the Santa Cruz massacre during the commemoration ceremony for the Santa Cruz massacre in Dili, East Timor, also known as Timor Leste, 12 November 2016. Hundreds of East Timorese commemorated the pro-independence demonstrators who were killed at Santa Cruz graveyard 25 years ago. EPA/ANTONIO DASIPARU

DILI –
 Jurnalis Allan Nairn yang pernah mengalami penyiksaan dari militer Indonesia dalam peristiwa pembunuhan Santa Cruz Dili pada 12 November 1991 mengatakan, bukan Pemerintah Australia yang membawa keselamatan bagi rakyat Timor-Leste pada tahun 1999, melainkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lah yang menghadirkan keselamatan itu.

Allan Nairn yang melakukan liputan dalam pembunuhan Santa Cruz merasa amat sedih dengan Pemerintah Australia yang menyatakan negara itulah yang menyelamatkan Timor-Leste di masa lalu.

“Australia dan Amerika Serikat merupakan musuh-musuh besar bagi Timor-Leste. Dulu Australia juga menyetujui invasi Indonesia ke Timor-Leste dan AS memberikan dukungan material bagi Indonesia dalam perang itu dengan cara membunuh warga sipil di sini,” kata jurnalis Allan kepada para wartawan di Gino’s Hotel, Dili Rabu (16/11).

Allan menambahkan, dirinya telah masuk ke Timor-Leste sejak tahun 1990. Sebelum masuk ke Timor-Leste, ia telah meliput negara-negara di Amerika Tengah dan Amerika Latin. Ia meliput di negara-negara seperti Honduras, Guatemala, Kosta Rika, Meksiko, Haiti, El Salvador, Paraguay dan di wilayah Indonesia seperti Papua Barat, Maluku, Aceh, dan Timor-Leste.

Allan mengisahkan tentang kronologi pembunuhan Santa Cruz bahwa, ketika para tentara datang, para warga TL tidak merasa takut. Mereka melihat bahwa ada banyak tentara, semuanya memegang senjata, tapi mereka tak berdiam. Mereka tak mau mundur. Mereka mengambil spanduk dan berkata menginginkan kemerdekaan. Lantas pasukan Indonesia menjawab dengan tembakan. Mereka mendapat perintah dari atasan mereka. Perintah itu berarti harus dimusnahkan, mereka harus dibunuh. Benar, mereka memang menemukan ada lebih dari 270 korban, tapi mereka gagal membunuh spirit.

Ia menambahkan, saat itu, dirinya bersama Ammy Goodman berdiri di baris pertama. Mereka melihat tentara Indonesia memegang senapan M16 buatan AS. Mereka mengira kalau TNI melihat orang asing, tidak akan terjadi penembakan. Tapi dugaan itu keliru, karena tiba-tiba militer Indonesia menembaki sejumlah anak muda. Setelah insiden ini terjadi, Allan dan Ammy Goodman melarikan diri ke kediaman Uskup Belo SDB di Lecidere. Allan menderita luka parah di kepalanya, setelah hantaman senapan militer Indonesia. Kepalanya berdarah dan darah itu mengalir ke bajunya. Setibanya di kediaman Uskup, Don Carlos Belo mengambil sebuah baju baru untuk Allan pakai. Selama di Dili, Allan dan Amy Goodman tidak bisa membuat reportase ke AS, karena kabel telekomunikasi dan semua alat transmisi rusak. Karena itu, saat keluar dari Dili dan tiba di Bali, Indonesia barulah mereka bisa membuat reportase mengenai kenyataan yang terjadi di Santa Cruz, Dili.


Dari berita Allan Nairn ini berhasil mempengaruhi para pemimpin politik di AS tergetar. Setelah itu muncullah video jurnalis Max Stahl yang semakin menggetarkan seluruh dunia. Dengan berita ini saja, belum mempengaruhi sejumlah politisi di AS, tapi Allan bersama dengan para sahabatnya yang lain membentuk NGO bernama East Timor Action Network (ETAN) yang memberikan advokasi keras atas bantuan AS pada Indonesia. Dengan advokasi dari ETAN, para pemimpin politik di AS mulai setuju untuk setiap tahunnya mengurangi bantuan mereka bagi Indonesia, terutama bantuan militer.

Pada tahun 1999, jurnalis Allan kembali ke Timor-Leste untuk meliput hari jajak pendapat. Setelah pengumuman hasil jajak pendapat, staf PBB dan semua warga asing lain mengungsi, tapi Allan memutuskan untuk tidak mengungsi dengan menetap di compound UN (Obrigado Barrakcs). Sesaat setelah Allan berjalan ke jalan raya, sejumlah anggota TNI langsung menangkapnya dan Jenderal Wiranto menyatakan di Jakarta bahwa Allan dihukum 10 tahun penjara, karena sejumlah reportasenya.

Kata Allan, meski dirinya telah mengungkap banyak realitas mengenai aksi brutal militer Indonesia di TL, tapi ia belum bisa meyakinkan Presiden AS Bill Clinton, karena Clinton masih melanjutkan bantuannya untuk TNI.

“Setelah melewati ini Presiden Bill Clinton langsung berkata pada Jenderal Wiranto bahwa TNI harus segera meninggalkan TL. Maka, TNI meninggalkan TL sebelum Pasukan Penjaga Perdamaian PBB yang dipimpin Australia masuk ke TL. Dua hari setelah TNI keluar barulah pasukan PBB masuk ke Dili. Bukan Australia yang menyelamatkan TL, ini tidak benar. Setelah TNI meninggalkan TL barulah Pasukan Penjaga Perdamaian PBB masuk ke Dili. Hal ini baik, tapi bukan Australia yang menyelamatkan TL,” kata Allan Nairn saat menyampaikan pidatonya di Kampus UNTL, Caicoli-Dili, Selasa (15/11).

“Saya juga mendengar bahwa, saat ini tengah berlangsung perundingan mengenai batas maritim. Australia mengatakan pada TL bahwa merekalah yang menyelamatkan TL dan minyak yang terkandung dalam laut Timor adalah milik mereka. Hal ini merupakan hadiah bagi Australia. Ini tidak benar dan tidak adil. Tindakan Australia ini sudah keterlaluan,” kata Allan.

Pada 11 April 2016, Pemerintah Timor-Leste memulai Conciliation Compulsory mengikuti Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (UNCLOS) dengan tujuan untuk mendapatkan satu persetujuan mengenai batas maritim permanen dengan Australia. Ketika batas maritim permanen ini dapat diselesaikan dengan Australia dan Indonesia berdasarkan hukum internasional, rakyat Timor-Leste akan mendapatkan kedaulatan yang penuh dan kendali atas sejumlah wilayah maritim yang berada dalam perbatasan. Negara pesisir pantai (Costal State Country), seperti Timor-Leste, memiliki hak untuk menetukan kedaulatannya atas tanah dan laut yang mengelilinginya. Hukum internasional telah membangun sejumlah prinsip dan peraturan mengenai batas-batas maritim antarnegara.


Konsiliasaun kompulsoria (Compulsory Conciliation) merupakan sebuah proses berdasarkan UNCLOS (Annex V, Seksi 2) yang para konsiliator dari sebuah panel akan membantu negara-negara yang terlibat untuk mencari sebuah solusi yang bersahabat atas sengketa yang mereka hadapi. Proses ini bisa digunakan dalam sejumlah kondisi dimana belum ada kesepakatan antar negara tetangga dan saat sebuah negara telah mendeklarasikan dengan tidak mau ikut serta dalam hukum internasional dengan menyelesaikan sengketa mengenai batas maritim, seperti yang telah dilakukan Australia. Compulsory Conciliation atau konsiliasi tambahan dapat membantu sebuah negara seperti Timor-Leste yang mencoba menyelesaikan sengketa batas laut saat negara itu tidak lagi memiliki opsi lain.

Konsiliasi ini sebuah panel dan lima orang konsiliator independen yang akan menjalankan fungsi komisi konsiliasi. Komisi ini akan mempelajari fakta dan posisi hukum dari masing-masing negara. Jika Australia dan Timor-Leste tidak dapat mencapai kesepakatan, komisi ini akan membuat (mengajukan) sebuah laporan kepada Sekretaris Jenderal PBB dengan sejumlah rekomendasi yang memohon bantuan agar resolusi dapat diberikan. Australia dan Timor-Leste masih mempunyai kewajiban untuk bernegosiasi dengan kehendak yang baik berdasarkan laporan dari komisi.

Secara umum, hukum internasional sés tiha ona (sudah melenceng atau tidak seusai lagi) dengan sejarah yang memfokus pada geologi dasar laut yang menjadi sebuah factor penting untuk menetapkan garis batas laut, kembali pada sebuah jalan di mana berdasarkan jarak antara Negara – Negara pesisir pantai (Costal State Country) demi mendapatkan solusi yang seimbang, biasanya ditarik garis tengah (atau ekidistânsia) antara pantai dan mengatur garis ini untuk dipertimbangkan sirkumstansi yang relevan. 

Sebuah batas maritim yang berdasarkan dasar laut baru ini diklaim pertama kali dalam proklamasi yang diumumkan oleh Presiden AS Harry Truman tahun 1945 dengan memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi mineral yang memberi tempat pada prefurasaun di laut besar dan akses baru bagi sumber daya alam. Proklamasi Truman ini mengklaim semua sumber daya di platform kontinental AS.

Negara-negara pantai lain juga melakukan klaim yang sama, termasuk Australia pada 1953. Sejumlah klaim itu mendasarkan diri pada ‘prinsip platform kontinental’ atau ‘natural prolongation theory’. Teori ini secara umum mengatakan bahwa batas maritim harus, kalau bisa ditarik garis sejauh mungkin, ditarik garis dari ujung platform Negara pesisir pantai, yang menunjukkan dalam beberapa kasus garis ini melewati teritori laut sebuah negara. Konvensi PBB untuk hukum laut (UNCLOS) yang memimpin multilateral treat untuk hukum laut. Timor-Leste, Australia dan Indonesia mengambil peran bagi UNCLOS, yang ditandatangani pada 1982 dan diberlakukan pada 1994. UNCLOS merupakan sebuah perjanjian yang paling banyak ditandatangani dan diratifikasi dalam sejarah.

UNCLOS mengakui bahwa negara-negara Costal State Country memiliki hak atas sejumlah wilayah yang telah ditentukan di dasar laut. UNCLOS telah meresmikan sebuah jalan berdasarkan jarak dengan menentukan wilayah maritim, termasuk territorial laut, Zona Ekonomi Eksklusif, dan platform kontinental. (oki)

 Translated by: Fransiskus Pascaries

No comments:

Timor-Leste's Prime-Minister offers his resignation Prime-Minister Timor-Leste Taur Matan Ruak. Dili, Timor-Leste - Prime Ministe...