DILI – Jurnalis Allan Nairn yang pernah mengalami penyiksaan dari militer Indonesia dalam peristiwa pembunuhan Santa Cruz Dili pada 12 November 1991 mengatakan, bukan Pemerintah Australia yang membawa keselamatan bagi rakyat Timor-Leste pada tahun 1999, melainkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lah yang menghadirkan keselamatan itu.
Allan Nairn yang melakukan liputan dalam pembunuhan Santa Cruz
merasa amat sedih dengan Pemerintah Australia yang menyatakan negara itulah
yang menyelamatkan Timor-Leste di masa lalu.
“Australia dan Amerika Serikat merupakan musuh-musuh besar
bagi Timor-Leste. Dulu Australia juga menyetujui invasi Indonesia ke
Timor-Leste dan AS memberikan dukungan material bagi Indonesia dalam perang itu
dengan cara membunuh warga sipil di sini,” kata jurnalis Allan kepada para
wartawan di Gino’s Hotel, Dili Rabu (16/11).
Allan menambahkan, dirinya telah masuk ke Timor-Leste sejak
tahun 1990. Sebelum masuk ke Timor-Leste, ia telah meliput negara-negara di
Amerika Tengah dan Amerika Latin. Ia meliput di negara-negara seperti Honduras,
Guatemala, Kosta Rika, Meksiko, Haiti, El Salvador, Paraguay dan di wilayah
Indonesia seperti Papua Barat, Maluku, Aceh, dan Timor-Leste.
Allan mengisahkan tentang kronologi pembunuhan Santa Cruz
bahwa, ketika para tentara datang, para warga TL tidak merasa takut. Mereka
melihat bahwa ada banyak tentara, semuanya memegang senjata, tapi mereka tak
berdiam. Mereka tak mau mundur. Mereka mengambil spanduk dan berkata
menginginkan kemerdekaan. Lantas pasukan Indonesia menjawab dengan tembakan.
Mereka mendapat perintah dari atasan mereka. Perintah itu berarti harus
dimusnahkan, mereka harus dibunuh. Benar, mereka memang menemukan ada lebih
dari 270 korban, tapi mereka gagal membunuh spirit.
Ia menambahkan, saat itu, dirinya bersama Ammy Goodman berdiri
di baris pertama. Mereka melihat tentara Indonesia memegang senapan M16 buatan
AS. Mereka mengira kalau TNI melihat orang asing, tidak akan terjadi
penembakan. Tapi dugaan itu keliru, karena tiba-tiba militer Indonesia
menembaki sejumlah anak muda. Setelah insiden ini terjadi, Allan dan Ammy
Goodman melarikan diri ke kediaman Uskup Belo SDB di Lecidere. Allan menderita
luka parah di kepalanya, setelah hantaman senapan militer Indonesia. Kepalanya
berdarah dan darah itu mengalir ke bajunya. Setibanya di kediaman Uskup, Don
Carlos Belo mengambil sebuah baju baru untuk Allan pakai. Selama di Dili, Allan
dan Amy Goodman tidak bisa membuat reportase ke AS, karena kabel telekomunikasi dan semua alat transmisi rusak. Karena itu,
saat keluar dari Dili dan tiba di Bali, Indonesia barulah mereka bisa membuat
reportase mengenai kenyataan yang terjadi di Santa Cruz, Dili.
Dari berita Allan Nairn ini berhasil mempengaruhi para pemimpin
politik di AS tergetar. Setelah itu muncullah video jurnalis Max Stahl yang
semakin menggetarkan seluruh dunia. Dengan berita ini saja, belum mempengaruhi
sejumlah politisi di AS, tapi Allan bersama dengan para sahabatnya yang lain
membentuk NGO bernama East Timor Action Network (ETAN) yang memberikan advokasi
keras atas bantuan AS pada Indonesia. Dengan advokasi dari ETAN, para pemimpin
politik di AS mulai setuju untuk setiap tahunnya mengurangi bantuan mereka bagi
Indonesia, terutama bantuan militer.
Pada tahun 1999, jurnalis Allan kembali ke Timor-Leste untuk
meliput hari jajak pendapat. Setelah pengumuman hasil jajak pendapat, staf PBB
dan semua warga asing lain mengungsi, tapi Allan memutuskan untuk tidak
mengungsi dengan menetap di compound UN (Obrigado Barrakcs). Sesaat setelah
Allan berjalan ke jalan raya, sejumlah anggota TNI langsung menangkapnya dan
Jenderal Wiranto menyatakan di Jakarta bahwa Allan dihukum 10 tahun penjara,
karena sejumlah reportasenya.
Kata Allan, meski dirinya telah mengungkap banyak realitas
mengenai aksi brutal militer Indonesia di TL, tapi ia belum bisa meyakinkan
Presiden AS Bill Clinton, karena Clinton masih melanjutkan bantuannya untuk
TNI.
“Setelah melewati ini Presiden Bill Clinton langsung berkata
pada Jenderal Wiranto bahwa TNI harus segera meninggalkan TL. Maka, TNI
meninggalkan TL sebelum Pasukan Penjaga Perdamaian PBB yang dipimpin Australia
masuk ke TL. Dua hari setelah TNI keluar barulah pasukan PBB masuk ke Dili.
Bukan Australia yang menyelamatkan TL, ini tidak benar. Setelah TNI
meninggalkan TL barulah Pasukan Penjaga Perdamaian PBB masuk ke Dili. Hal ini
baik, tapi bukan Australia yang menyelamatkan TL,” kata Allan Nairn saat
menyampaikan pidatonya di Kampus UNTL, Caicoli-Dili, Selasa (15/11).
“Saya juga mendengar bahwa, saat ini tengah berlangsung
perundingan mengenai batas maritim. Australia mengatakan pada TL bahwa
merekalah yang menyelamatkan TL dan minyak yang terkandung dalam laut Timor
adalah milik mereka. Hal ini merupakan hadiah bagi Australia. Ini tidak benar
dan tidak adil. Tindakan Australia ini sudah keterlaluan,” kata Allan.
Pada 11 April 2016, Pemerintah Timor-Leste memulai Conciliation Compulsory mengikuti
Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (UNCLOS) dengan tujuan untuk mendapatkan satu
persetujuan mengenai batas maritim permanen dengan Australia. Ketika batas
maritim permanen ini dapat diselesaikan dengan Australia dan Indonesia
berdasarkan hukum internasional, rakyat Timor-Leste akan mendapatkan kedaulatan
yang penuh dan kendali atas sejumlah wilayah maritim yang berada dalam
perbatasan. Negara pesisir pantai (Costal State Country), seperti Timor-Leste,
memiliki hak untuk menetukan kedaulatannya atas tanah dan laut yang
mengelilinginya. Hukum internasional telah membangun sejumlah prinsip dan peraturan
mengenai batas-batas maritim antarnegara.
Konsiliasaun kompulsoria
(Compulsory Conciliation) merupakan sebuah proses berdasarkan UNCLOS (Annex V,
Seksi 2) yang para konsiliator dari sebuah panel akan membantu negara-negara
yang terlibat untuk mencari sebuah solusi yang bersahabat atas sengketa yang
mereka hadapi. Proses ini bisa digunakan dalam sejumlah kondisi dimana belum
ada kesepakatan antar negara tetangga dan saat sebuah negara telah
mendeklarasikan dengan tidak mau ikut serta dalam hukum internasional dengan
menyelesaikan sengketa mengenai batas maritim, seperti yang telah dilakukan
Australia. Compulsory Conciliation atau konsiliasi tambahan dapat membantu
sebuah negara seperti Timor-Leste yang mencoba menyelesaikan sengketa batas
laut saat negara itu tidak lagi memiliki opsi lain.
Konsiliasi ini sebuah
panel dan lima orang konsiliator independen yang akan menjalankan fungsi komisi
konsiliasi. Komisi ini akan mempelajari fakta dan posisi hukum dari
masing-masing negara. Jika Australia dan Timor-Leste tidak dapat mencapai
kesepakatan, komisi ini akan membuat (mengajukan) sebuah laporan kepada
Sekretaris Jenderal PBB dengan sejumlah rekomendasi yang memohon bantuan agar
resolusi dapat diberikan. Australia dan Timor-Leste masih mempunyai kewajiban
untuk bernegosiasi dengan kehendak yang baik berdasarkan laporan dari komisi.
Secara umum, hukum internasional sés tiha ona (sudah melenceng
atau tidak seusai lagi) dengan sejarah yang memfokus pada geologi dasar laut
yang menjadi sebuah factor penting untuk menetapkan garis batas laut, kembali
pada sebuah jalan di mana berdasarkan jarak antara Negara – Negara pesisir
pantai (Costal State Country) demi mendapatkan solusi yang seimbang, biasanya
ditarik garis tengah (atau ekidistânsia) antara pantai dan mengatur garis ini
untuk dipertimbangkan sirkumstansi yang relevan.
Sebuah batas maritim yang berdasarkan dasar laut baru ini diklaim
pertama kali dalam proklamasi yang diumumkan oleh Presiden AS Harry Truman
tahun 1945 dengan memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi mineral yang
memberi tempat pada prefurasaun di laut besar dan akses baru bagi sumber daya
alam. Proklamasi Truman ini mengklaim
semua sumber daya di platform kontinental AS.
Negara-negara pantai lain juga melakukan klaim yang sama, termasuk
Australia pada 1953. Sejumlah klaim itu mendasarkan diri pada ‘prinsip platform
kontinental’ atau ‘natural prolongation theory’. Teori ini secara umum
mengatakan bahwa batas maritim harus, kalau bisa ditarik garis sejauh mungkin,
ditarik garis dari ujung platform Negara pesisir pantai, yang menunjukkan dalam
beberapa kasus garis ini melewati teritori laut sebuah negara. Konvensi PBB
untuk hukum laut (UNCLOS) yang memimpin multilateral treat untuk hukum laut.
Timor-Leste, Australia dan Indonesia mengambil peran bagi UNCLOS, yang
ditandatangani pada 1982 dan diberlakukan pada 1994. UNCLOS merupakan sebuah
perjanjian yang paling banyak ditandatangani dan diratifikasi dalam sejarah.
UNCLOS mengakui bahwa negara-negara Costal State Country memiliki hak atas sejumlah wilayah yang telah
ditentukan di dasar laut. UNCLOS telah meresmikan sebuah jalan berdasarkan
jarak dengan menentukan wilayah maritim, termasuk territorial laut, Zona
Ekonomi Eksklusif, dan platform kontinental. (oki)
Translated by: Fransiskus Pascaries
No comments:
Post a Comment