HEWAN dengan segala jenisnya digerakkan oleh
naluri atau instingnya, tetapi manusia digerakkan oleh pilihan etisnya. Naluri
menggerakkan hewan kepada arah dan pola tertentu serta bersifat tetap, sehingga
pola hidup suatu hewan selalu dapat diprediksi dengan tepat. Tetapi untuk
memprediksi sikap seseorang tidaklah mudah. Karena tiap-tiap orang digerakkan
oleh kehendak bebasnya sehingga pilihan etisnya juga dilakukan berdasarkan
nilai-nilai tertentu, keyakinan, karakter, dan situasi real saat itu.
Itu sebabnya pilihan etis setiap orang selalu bersifat unik dan personal.
Mereka memiliki penafsiran tersendiri apa yang dimaksud dengan “Makna
Kehidupan”. Bagi beberapa orang makna kehidupan dihayati sebagai suatu
kesempatan untuk menikmati segala sesuatu (hedonisme), beberapa orang makna
kehidupan dihayati dengan sikap bertarak, sebagian lagi menghayati makna
kehidupan dengan peduli (bela-rasa), dan yang lain menghayati makna kehidupan
dengan bersikap egoistis, sebagian menghayati makna hidup dengan mengasihi
Allah, dan yang lain mengabaikan dan menolak Allah, dan sebagainya.
Yang jelas makna kehidupan yang dihayati oleh setiap orang mencerminkan
arah dan tujuan hidupnya sendiri, sekaligus mencerminkan karakter, isi keyakinan
dan spiritualitasnya. Semakin berkualitas makna kehidupan yang dijalani, maka
semakin tinggi pula nilai-nilai dan kualitas karakter yang dimilikinya.
Sebaliknya semakin dangkal makna kehidupan yang dijalani seseorang, maka akan
tampak ketidakmampuan dia untuk melakukan pilihan etis secara benar.
Pengetahuan etis dan kemampuan memilih dapat saling melengkapi seseorang
untuk mengambil keputusan etis yang tepat. Sebab melalui pengetahuan etis, kita
dimampukan untuk membuat pertimbangan etis secara rasional. Pengetahuan etis
dapat membantu kita untuk memperoleh pencerahan intelektual sehingga kita
bersikap dan bertingkah-laku sesuai dengan nilai-nilai etis yang rasional.
Tetapi pada pihak lain, kita juga harus ingat bahwa pengetahuan etis yang luas
dan mendalam tidak menjamin kita untuk mampu membuat pilihan etis secara
praktis. Misalnya kita dapat mengetahui secara mendalam tentang hukum negara
baik yang tertulis maupun tidak tertulis dan hukum adat-istiadat dan kehendak
Allah, tetapi realitanya kita tidak senantiasa mampu memberlakukan semua hukum
tersebut dalam kehidupan kita. Pengetahuan yang lengkap tentang moralitas tidak
menjamin kita menjadi seorang yang memberlakukan kesusilaan secara konsisten.
Dalam banyak kasus kita telah menjumpai orang-orang yang dianggap ahli
etika dan tokoh moral, tetapi tiba-tiba dia terbukti terlibat dalam berbagai
tindakan yang tidak senonoh. Seperti terlibat dalam kasus pelecehan sexual,
pornografi, Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), perdagangan manusia (human
trafficking), penjualan obat-obat terlarang dab sebagainya. Demikian pula
banyak orang terkecoh dengan kesalehan para pemuka agama yang begitu lantang
menentang pornografi, tetapi kemudian terbukti mereka sendiri bertahun-tahun
mempraktekkan pornografi, pedophilia. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa
pada satu pihak pengetahuan etis dan moral sangat dibutuhkan sebagai media
pendidikan dan pembinaan masyarakat agar mereka dapat mampu memilih apa yang
benar; tetapi pada pihak lain pengetahuan etis dapat menjadi media kemunafikan
sebab dipakai untuk menyembunyikan hal-hal yang buruk dalam kehidupannya.
Jika demikian kemampuan memilih apa yang benar dan baik dalam kehidupan ini
merupakan suatu perjuangan yang eksistensial. Tidak dijamin kemampuan kita
untuk memilih secara tepat pada suatu waktu, berarti kita akan mampu memilih
secara etis pada waktu yang lain. Karena pilihan-pilihan etis kita senantiasa
berada dalam suatu kondisi yang tidak sama dan memiliki kerumitannya
masing-masing. Kita tahu bahwa tidak semua pilihan dalam hidup ini dapat kita
pilih dengan mudah.
Kadang-kadang kita menghadapi situasi yang dilematis seperti: di saat dana
kita terbatas, kita harus mengambil keputusan untuk pengobatan bagi mama yang
sedang sakit keras ataukah untuk anak yang harus dioperasi. Atau sikap kita
yang tidak mudah memilih untuk pengobatan anak yang gagal ginjal selama
bertahun-tahun sehingga membutuhkan biaya untuk cuci darah setiap minggu dua
kali, ataukah lebih baik kita memilih untuk biaya pendidikan bagi anak-anak
kita yang lain.
Kalau kita memilih masa depan dan pendidikan bagi anak-anak kita yang lain
berarti kita akan mengambil keputusan untuk menghentikan perawatan medis bagi
anak yang perlu cuci darah. Tentunya keputusan kita tersebut dapat menyebabkan
kematian bagi anak yang sedang membutuhkan biaya untuk cuci darah. Namun jika
kita memilih dana tersebut untuk cuci darah, berarti kita akan menelantarkan
masa depan dan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak kita yang lain. Dalam hal
ini kemampuan kita untuk memilih secara etis tidaklah cukup didukung dengan
pengetahuan etis.
Kemampuan etis kita perlu dilandasi oleh kualitas kasih dan relasi yang
mendalam dengan Allah, sang sumber Kehidupan dan sesama manusia. Kita mengimani
bahwa Allah di dalam Kristus akan mengampuni kita ketika kita gagal untuk
membuat pilihan dan keputusan yang tidak tepat dalam situasi yang dilematis.
Kalau kita berpijak kepada pengetahuan etis, maka kita akan dirongrong oleh
rasa bersalah. Sebaliknya ketika kita berpijak kepada anugerah dan rahmat Allah
dan masukan dari semana manusia, kita dimampukan untuk melakukan pilihan dan
keputusan yang sebaik-baiknya dengan kesadaran bahwa kita tidak mampu
mengendalikan rahasia kehidupan ini. Jadi pilihan yang terbaik adalah bilamana
dilandasi oleh kasih Allah, ide orang lain, sehingga kita mampu memilih secara
bijaksana walaupun juga menyakitkan.
Seseorang yang mengasihi para anggota keluarga, nyawa dan harta miliknya
lebih dari pada apapun juga pastilah akan lebih cenderung
ingin memberlakukan keinginan dan orientasi hidupnya sebagai yang paling utama.
Kita dapat melihat dalam banyak contoh ketika seseorang menempatkan
para anggota keluarganya sebagai yang paling utama, maka akan muncul
sikap Nepotisme. Atau seseorang yang terlalu mencintai nyawanya sendiri sehingga
melahirkan sikap Egoisme diri, dan rasa cinta yang berlebihan
kepada etnisnya sendiri akan melahirkan sikap Rasialisme; rasa cinta yang berlebihan
kepada bangsanya sendiri melahirkan sikap Chauvinisme. Demikian pula rasa cinta
kepada uang dan materi yang berlebihan akan melahirkan sikap
Materialisme. Semua sikap tersebut terwujud dalam realita kehidupan manusia karena
kita tidak menempatkan yang sebenarnya sebagai satu-satunya pusat kehidupan
kita.
Bagaimana manusia menjadi mampu untuk bertindak menurut pengertian yang
tepat? Untuk itu, kita harus masuk sedikiti ke dalam ajaran Aristoteles tentang
KEUTAMAAN (Arete). Menurut Aristoteles, keutamaan adalah sikap-sikap
batin yang di miliki manusia. (hexis probairetike). Aristoteles membedakan dua
macam keutamaan, yaitu keutaman intelektual (aretai dianoetikai) dan keutamaan
etis (aretai etikai). Yang pertama merupakan sikap akal budi, yang kedua sikap
kehendak.
Sophia, dalam bahasa Inggris (Wisdom), adalah kebijaksaan orang yang
hatinya terangkat ke tingkat alam adiduniawi, jadi kebijaksanaan orang ber-theoria.
Itulah orang yang bijaksana karena tahu tentang realitas yang paling mendalam.
Sedangkan phronesis (prudence) adalah kemampuan orang untuk
mengambil sikap dan keputusan bijaksana dalam memecahkan berbagai masalah dalam
Kehidupan sehari-hari. Menurut Plato, Phronesismengalir dari Sophia.
Karena itu, Plato mengharapkan bahwa filsuflah, si pencinta Sophia, yang
paling mampu memecahkan masalah-masalah dalam kepemimpinan dalam masyarakat dan
oleh karena itu harus menjadi raja.
Menurut Demokritos (460-371 SM) menyatakan, nilai tertinggi adalah apa yang
enak (hedonisme) dan kepintaran dalam berdebat lebih penting daripada
pendekatan pada pembenaran. Sedangkan Socrates yakin bahwa orang akan berbuat
benar apabila ia mengetahui apa yang baik baginya. Perbuatan yang salah adalah
akibat kurang cerahnya pengertian diri manusia.
Sang Baik, Cinta dan Kebahagiaan
Menurut Plato, orang itu baik apabila ia DIKUASAI oleh AKAL BUDI, buruk
apabila di kuasaun oleh keinginan dan hawa nafsu. Mengapa demikian? Karena
selama kita dikuasai oleh nafsu dan emosi, kita di kuasai oleh sesuatu yang di
luar kita. Itu berarti, kita tidak teratur, kita di tarik ke sana ke sini, kita
menjadi kacau balau. Kita seakan-akan terpecah-belah, tergantung pada nafsu
atau emosi mana yang sedang mengemudikan kita. Kita tidak memiliki diri kita,
melainkan menjadi obyek doronga-dorongan irasional dalam diri kita.
Menurut Aristoteles, ada tiga pola hidup yang memuat kepuasan dalam dirinya
sendiri, yaitu hidup yang MENCARI NIKMAT, hidup “praktis” atau POLITIS, dan
hidup sebagai seorang filsuf, HIDUP KONTEMPLATIF. Anggapan pertama dalam filsuf
disebut HEDONISME. Sejak zaman Yunani ada filsuf-filsuf yang mempermaklumkan
salah satu bentuk hedonism. Salah satu kehebatan etika Aristoteles adalah bahwa
ia bukan hanya menyangkal kebenaran anggapan bahwa PENCARI NIKMAT merupakan
tujuna hidup manusia, melainkan juga merumuskan argumentasi yang pada
hakikatnya sekarang pun masih meyakinkan. Alasan utama yang dikemukakan Aristoteles
adalah bahwa perasaan nikmat tidak khas manusiawi.
Orang yang hidupnya hanya
mencari kenikmatan sama derajatnya dengan binatang, namun karena kita (manusia)
bukan binatang, hidup sebagai binatang tidak mungkin membahagiakan karena tidak
dapat membedakan apa yang baik dan buruk. Semoga di tahun baru, 2014 ini kita
semua berusaha untuk mencari dan memilih kehidupan yang etis.